“Ketika ada seseorang bertanya tentang definisi cinta, seorang filsuf pun tidak bisa memberikan definisi yang pasti, sebab cinta memang tidak akan pernah bisa didefiniskan secara ilmiah. Makna cinta dirasakan dan dimaknai di hati masing-masing manusia. Itulah sebabnya, pembahasan cinta tidak pernah usai, seperti dalam kisah “Kita Sudah Tak di Sana” karya Niska, yang disajikan secara unik. Kita seperti sedang menikmati puisi lirik atau penggalan-penggalan kisah cinta dengan berbagai rasa, ringan dibaca, dan bisa jadi related dengan suasana hati pembaca.”
(Ismail Kusmayadi, guru-penulis)
"Saat membaca buku ini, saya seperti ikut menumpuk pondasi dan menegakkan pilar yang menyusun bangunan kenangan. Ada kalanya saya melihat langsung fragmen kisahnya. Ada kalanya saya harus meraba permukaan lebih dulu. Namun, saya menikmati moment itu. Maka, silakan kalian, berkunjunglah ke sana!"
"Membaca prosa liris teh Niska di buku ini mengingatkan saya kepada prosa liris pak Linus Suryadi dan pak Sapardi Djoko Damono. Begitu hangat, menenangkan dan menghanyutkan. Saya suka dengan aliran deras diksinya juga pertunjukan makna yang dimainkannya. Kalau boleh saya memprediksi, mungkin teh Niska adalah the next ibu Abidah El Khalieqy."
(Aldy Istanzia Wiguna, pengasuh di Pusaka Pustaka dan penulis trilogi buku Seteru Umat)